Postingan

Tentang Penulisan dan Sedikit Analisa Materialis yang Belum Tuntas

Ini tulisan baru di blog setelah lama nggak nulis. Tak perlu kuceritakan satu persatu, alasan abstrak "terlalu banyak masalah," kurasa cukup menjelaskan latarbelakang kenapa kembali aku mesti menulis. Dan untuk mendukung iktikadku tersebut, beberapa hari ini memaksa membaca buku Arswendo A. yang kudapatkan dari toko buku bekas Pak Min beberapa waktu lalu yang berjudul, " Mengarang itu Mudah". Selanjutnya, aku harus baca pula beberapa buku tentang kaidah penulisan dari penulis teknik menulis lain seperti Gorys Keraf atau lainnya.  Ah, sebetulnya tentang buku-buku dengan model tersebut, dulu waktu muda juga aku pernah baca buku dengan judul alay seperti, "Bagaimana Menjadi Penulis Ngetop," atau buku lain yang masih sekelamin dengannya. Dan actually,  buku seperti itu kukira tak cukup signifikan dalam merangsang minat menulis, karena materinya terlalu idealis. Pun begitu, setidaknya materi dari buku tersebut cukup memberi gambaran bahwa aku berani dan s...

Krisis Ekonomi dan Potensi Aliansi Neo-Fasisme dan Golongan Kanan

Dalam susahnya memenuhi kebutuhan sekedar subsisten, propaganda-propaganda irasional disetel oleh kelompok fasis dan golongan kanan. Dengan isu menggebuk kiri yang sudah mati dihidupkan lagi seolah-olah mereka kembali eksis, menyelimut dan hendak menyerang keutuhan negara. Mereka adalah penjaga dan benteng nasional yang akan menghadang karena kiri hendak menyerang. Konyolnya, kiri yang mereka duga senyatanya nihil! Kalau toh ada, terserak dari kegagalan reformasi oleh kelas menengah pada tahun 1998 lalu.  Lantas, bagaimana menjelaskan geliat fasisme yang telah runtuh secara formal dengan dicabutnya dwi fungsi, tapi jejak dan tubuhnya masih kekar dan kembali ingin naik panggung. Adalah argumen Sosiolog Politik Duverger yang bisa kita catut bahwa tak banyak argumen rasional yang digunakan dalam fasisme untuk mengarsiteki segala ambisinya. Mereka hanya membutuhkan kepatuhan, ya siyap laksanakan! Berbeda dengan kiri yang sangat membutuhkan argumentasi untuk melakukan rasionalisasi...

Freud dan Penjelasan Insting Takut Mati

Dalam hidup kita, rasa terancam menjadi sesuatu yang lumrah dijauhi. Meskipun tak dapat dipungkiri masih ada golongan yang pemberani, namun proporsinya sangat kecil. Ketakutan kita pada polisi, bedil, kecelakaan lalu lintas, kerja, dan darah.  Adalah Sigmund Freud, seorang psikiater yang dikenal sebagai Bapak Psikologi menjelaskan bahwa mekanisme kepribadian manusia dihubungkan dengan insting takut mati. Ini bertolak belakang dari insting seksualitas dan agresi yang ia percayai ada dalam setiap kepribadian manusia. Bagi Freud alam bawah sadar manusia adalah lebih banyak daripada alam sadar, dan insting ini dapat kita fahami dari bekerjanya tiga lapisan kepribadian manusia yakni id, ego, dan super ego. 

Menjadi Radikal atau Nothing

Hari ini aku ke Ungaran dimana disana ada sebuah undangan dialog terbatas yang membahas sebuah kebinakan yang perlu kejelian. Seorang dosen di sebuah universitas katolik, seorang analis hukum, dan dari sebuah organisasi lingkungan hidup menjadi pembicara. Sementara itu, saya dan beberapa teman dari pegiat LSM adalah pendengar selain mahasiswa yang diwajibkan ikut dalam dialog tersebut. Dialog tersebut membuatku sadar bahwa tuntutan petani atas tanah dan konflik yang muncul tidak mudah untuk dipecahkan. Sebuah kebijakan bisa berimplikasi perpecahan diantara pegiat agraria. Bagi mereka di basis konflik tanah, jalan radikal adalah pilihan tepat. Penindasan yang dihadapi telah membukakan mata mereka betapa tidak ada jalan bagi kompromi. Sementara di daerah yang damai lebih memilih alternatif yang moderat. Sebuah kebijakan berusaha akan dimainkan, seperti mundur selangkah untuk maju beberapa langkah, meskipun hasil akhirnya lebih banyak mengecewakan. Sementara, sisanya adalah pendukung ke...

Ibu adalah pohon rapuh

Ibu adalah pohon tua yang mencoba tumbuh lagi dalam rapuh yang datang Ibu adalah mesin tua yang coba diperbaiki dengan onderdil tua Ibu adalah lilin yang berharap terus menyala di perempat akhir batang Ibu adalah ranting  yang digerogoti ngengat dan renik dan mencoba tetap lekat di pohon Tapi harapanku kau tak jatuh dan tuhan mendengarkan pintaku sehingga menurunkan keajaibannya Ketapang, 13 Mei 2017

Konsep Hidup dan Kapitalisme

Pemain sepakbola kita tidak memiliki konsep bermain yang jelas.  Ini berbeda dengan tim luar negeri dimana kolektivitas bermain tim yang baik, sistematis, dll. -ucapan seorang komentator sepakbola Indonesia dalam final piala AFF 2016. Kemudian aku terangsang untuk berfikir dengan apa yang dimaksud komentator tersebut, "konsep bermain" dan kucoba bandingkan dengan "kebiasaan strukturil". Yang kumaksudkan adalah sebuah pola, sistem, budaya atau struktur dimana individu hanyalah bagian saja dari semesta yang ia diami. Sepenuhnya aku percaya dengan ucapan komentator itu, bahwa selama ini pemain kita terbiasa asal membuang bola ke depan dan berharap keberuntungan bola nyangkut pada teman. Kemudian juga kebiasaan menggiring bola dan menunjukkan skill individu, dan kebiasaan lain. Bola adalah permainan yang menunjukkan gejala kulturil massa sehari-hari. Ia bak cermin kehidupan massa sehari-hari, yang kebanyakan hidup kemudian menunggu rangsangan datang saja. Kita tidak ...

Relativisme Kultural : Anti-Marxis?

Seorang teman bercerita di warung kopi tentang keadaan lingkungan di lokasi isterinya yang beradat baginya 'nyeleneh'. Ia melamukan perbandingan dengan apa yang ia alami di desanya, baik soal adat menikah, mistik, bahkan beribadah. Dalam pikirannya, adat di rumah isterinya sangat kaku dan deso. Kemudian aku berfikir juga tentang bagaimana Ruth Bennedict yang menulis tentang tradisi Jepang dimana samurai dan bunga seroja adalah sesuatu yang eksentrik, dimana tradisi dan simbolisasi ini merupakan sesuatu yang secara mikroskopis benar. Dari dua orang ini aku menarik perbandingan bahwa, meskipun level akademisnya berbeda, mereka berdua mewakili tradisi relativisme kultural. Bahwa temanku yang menilai orang Wonogiri dan Bennedict yang memotret budaya Samurai, sama-sama memberikan penilaian tentang budaya tak dilihat dari bagaimana konteks ekopol yang berlaku di suatu wilayah.