Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Frame Berfikir Marxian

Marxisme mendakwa situasi sosial/lingkungan yang akan menentukan kesadaran seseorang. Ini menjadi kunci yang memudahkan kita dalam mengetahui frame berfikir seseorang. Semisal dalam lingkungan sosial yang serba cukup, tak kekurangan seorang pengusaha akan berfikir liberal dengan ciri individualis, dll. Hal yang sebaliknya terjadi di kalangan buruh dimana situasi kerja dan upah yang sedikit akan menjadi komunal. Yang menarik adalah, bagaimana apabila dalam situasi tertentu terjadi sesuatu yang sebaliknya, apabila petani tak bertanah justru berfikir liberal misalnya. Nah, penyimpangan itu disebut false consciousness. Ini yang menjadi pokok bahasan Frankfurt School seperti yang dibahas oleh Walter Benjamin, Theodore Adorno, Habermas, dkk. Mereka masing-masing mereinterpretasi gagasan Marx yang tidak melihat bahwa faktor budaya adalah sumber masalah/ pokok bahasan yang penting. Dari paparan dua paragraf di atas, kita menangkap tiga kata kunci yakni, determinasi lingkungan, fal...

Drama Hidup Buruh-buruh Tani Perempuan

 S eorang buruh tani perempuan tanya padaku di sore itu, "Mas Arif bawon [a] buat saya berapa? Saya sudah membantu sedari pagi tadi." ucapan petani itu sontak menggagetkanku. Saya yang merasa tidak tahu apa-apa tercengang. Saat itu, posisi saya adalah kebetulan menjadi sopir bagi ayah untuk mengangkut hasil panen dari lahan ke rumah. Untuk urusan bawon , atau berapa bagian upah dalam pekerjaan panen, saya jauh dari memahami, sebab saya bukan petani.   Ayahku bisa disebut tuan tanah di desa kami, yang juga kebetulan tengah berpanen. Kenapa petani perempuan itu menanyakan padaku, bisa saya pahami, kenapa menanyakan bawon ke saya. Saat itu ayah sudah pulang karena hujan lebat, di sawah tidak ada yang berhak ia tanyai selain aku anak ayah. Sayang saya tak mampu menjawabnya. Saya takut salah jawab. Yang menjadi pikiranku, secara budaya ucapan seperti itu hanya mungkin diungkapkan oleh mereka yang terjepit secara ekonomi. Mereka tidak mungkin berani bilang begitu dalam keadaa...

A Dystopian Society

Distopia! Kita terperangkap menuju distopia! Tanpa ampun karena ini menyengsarakan namun kita tidak mau keluar dan secara tak sadar tengah menikmati kemelut situasi distopis tersebut. Duduk santai, setelah bekerja 8 jam menikmati televisi -menonton kompetisi menyanyi sehingga terlupa bahwa hal itu sama sekali tak penting. Atau kita dengarkan ilmuwan yang nampak hebat karena berdebat keras untuk membahas suatu kasus yang jauh dari kehidupan pemirsanya. Ah, ini nampak membosankan, namun anehnya rutinitas itu dilakukan berulang-ulang...

Tentang Proses Menuliskan Apapun

Tentang menulis adalah hal yang sangat berat saya rasakan apabila tanpa teknik, tanpa konsep berpikir yang jelas, dan tanpa arah alur mau dibawa kemana. Kita tidak tahu harus memulai dari mana, akan dijalankan seperti apa, bagaimana teks dalam perjalanan dan kapan harus berhenti untuk mengukur keadaan sampai akhirnya mampu menarik semua dalam kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal. Ya, menulis adalah sebuah kerja yang perlu untuk kita sistematisasi dari awal. Ia adalah kerja terorganisir yang tidak bisa anarkis semaunya sendiri karena teks adalah jalinan yang mempunyai mekanisme tertentu. Sekali lagi, menulis perlu dimulai semenjak dari awal dengan suatu optimisme bahwa dalam menuliskan sesuatu itu bakal ada kemungkinan menemukan suatu keadaan yang baru. Menulis menjadi proses yang harus dimulai dengan mencari fakta dan data yang perlu untuk saling dibenturkan dengan hal-hal yang bertentangan sehingga terjadi suatu kemungkinan akan eksplorasi hal baru. Itulah kepuasan dalam menulis se...

Sejarah Riset di Indonesia

Penelitian sosial semarak lagi seiring perkembangan media digital serta tumbuhnya institusi percetakan, penerbitan dan sponsorship. Pun begitu, riset berbasis sosial ini menyisakan banyak kesangsian bagi perkembangan keilmuan sebab seringkali ia berhenti pada tahap riset untuk riset itu sendiri. Stagnansi ini tentu mengecewakan, karena disiplin keilmuan yang seharusnya strategis dan dinantikan kiprahnya di masyarakat justru terokupasi dan menghamba kepentingan prestise dan komersial. Alih-alih menjadi corong fungsi lembaga riset justru berhenti di depan pintu rekayasa sosial/ social engineering . Kegagalan lembaga-lembaga riset di tanah air yang mengambil nama-nama tokoh dengan membubuhi nama Institute atau semacamnya ini tentu saja mengundang kutuk di kancah masyarakat. Pengembangan ilmu, metode dengan pendekatan yang dengan susah payah dikembangkan untuk dilakukan aksi dan praktik kebenaran, ternyata hasilnya diserahkan kepada pihak-pihak yang membayar. Inilah periode yang dap...