Everest: After the Rain Falls (Part I)
Desember sore menyuguhkan tanah yang becek dan basah. Hujan turun semenjak pagi hingga malam tanpa henti. Udara tipis menyentuh sisi kulit, menyayat dan menembusi relung tulang. Orang-orang memilih mengurung diri di dalam kamar, berselimut tebal meghangatkan diri disinar lampu neon.
Sementara kita tengah berbincang di pendapa sore itu. Setelah Mbok Ni membuatkan dua gelas teh hangat di cangkir tanah.
"Mount Everest! Apa yang mengharuskanmu melakukan pendakian ke tempat itu?" Hafidz membuka pembicaraan.
"Nepal. Kalau ingin ke luar negeri aku ingin ke Nepal. Tidak ada yang kutakutkan di dunia ini. Dan Everest seperti kau tahu, tidak hanya gunung tertinggi. Everest bagiku kemegahan dan sakral seperti Mecca bagimu" balas Ridwan.
"Kau tidak takut mati?"
"Tidak".
"Setidaknya akan kuceritakan pada anak-anakku kelak, bahwa kau temanku paling gagah berani".
Ridwan
telah menjadi anak terakhir dan paling bandel dari keluarga Tante dan
Oom Azhari. Dari Ketiga anaknya, Ridwan adalah anak terakhir yang
paling sulit diatur. Ridwan seorang petualang dan berjiwa bebas. Dia mudah sekali tertarik dengan hal-hal baru, seperti main Band, mendaki, atau
touring vespa. Saat kedua kakaknya kuliah, Ridwan
memutuskan untuk tidak kuliah dimanapun. Ia malah memilih untuk
dibelikan alat band. "Aku ingin jadi musisi Rock besar!" demikian
seloroh Ridwan yang masih kuingat sewaktu kami masih sama-sama sekelas di SMA.
***
Hari senja, disana-sini kelihatan cahaya lampu dari rumah-rumah. Angin sepoi menyeret sisa gerimis hujan. Desember ini kukenang bulan perpisahan terakhir kita enam tahun lalu dengan Ridwan. Sengaja aku tulis cerita ini sambil minum teh di pendapa sendirian. Ku kira hanya cara seperti inilah bentuk pemujaan terbaik pada teman terdekatku itu. Sebuah bentuk sesembahan mengenang teman yang paling berkesan.
![]() |
Image Source |
Yah, semenjak percakapan di pendapa rumah saat itu, Ridwan terkabar hilang di Everest. Tak diketahui dimana ia dikuburkan, hanya dikabarkan di berita pagi, jika jasadnya tertimbun diantara reruntuhan salju. "Seorang Pendaki Asal Indonesia Meninggal di Everest", demikian lead tittle berita koran nasional memberitakan. Selesai kubaca, dalam paragraf selanjutnya terkabar jika korban tidak akan dipulangkan. Seperti lazim para pendaki di Everest, jasadnya akan dibakar sesuai ritual warga sekitar Everest.
Sontak, membaca berita itu aku terkaget. Dengan gugup, kucoba meraih handphone-ku dan tergegas mengontak keluarga Ridwan di rumah.
Sontak, membaca berita itu aku terkaget. Dengan gugup, kucoba meraih handphone-ku dan tergegas mengontak keluarga Ridwan di rumah.
"Maaf tante, apa Tante sudah baca koran hari ini?"
"Iya Fidz!" sambil menangis pasrah.
"Sabar ya, Tante"
"Iya terimakasih".
Kemudian setelah kematian Ridwan, aku semakin dekat dengan tante dan Oom Azhari. Paling lama dalam satu bulan aku bermain ke Rumah Ridwan yang tak begitu jauh dari rumah. Sehabis ngampus atau jika sedang bepergian ke luar, selalu kusempatkan waktu bermain ke rumah Ridwan. Tante dan Oom Azhari sangat terbuka, kami saling cerita apa saja. Sangking dekatnya, aku merasa jika tante dan Oom sudah kuanggap orangtua sendiri.
Kemudian setelah kematian Ridwan, aku semakin dekat dengan tante dan Oom Azhari. Paling lama dalam satu bulan aku bermain ke Rumah Ridwan yang tak begitu jauh dari rumah. Sehabis ngampus atau jika sedang bepergian ke luar, selalu kusempatkan waktu bermain ke rumah Ridwan. Tante dan Oom Azhari sangat terbuka, kami saling cerita apa saja. Sangking dekatnya, aku merasa jika tante dan Oom sudah kuanggap orangtua sendiri.
***
Angin gunung membelai gondrong rambutku. Aku telah berdiri di atas tanah yang menjemput Ridwan menemui Tuhannya. Di depanku Everest yang agung menjulang dengan liukan jalan panjang. Bentangan batu-batu terjal melekuk sempit dengan butiran salju memutih. Menyaksikan kemegahan itu, sebentar darahku mendesir ragu melanjutkan pendakian. Mulanya nyaliku menciut, sampai bayang Ridwan yang sesekali terbersit membuatku harus tetap melangkah.
"Fidz, apa tujuanmu naik gunung?" begitu kukenang pertanyaan Ridwan dulu padaku.
"Tak tahu Fidz, kalok kamu?" kubalas pertanyaannya sambil menggeleng.
"Puncak! tujuan orang mendaki gunung adalah puncak. Apapun yang terjadi".
Teringat ucapan alm. sahabatku itu, lalu kutatap Everest kuat-kuat. Kuhirup udara Everest semampuku. Kucoba mengumpulkan semangat untuk kualirkan di seluruh tubuhku. Kali ini, aku telah mengambil sikap yang sama dengan mengambil posisi peribadatan yang sama dengan yang dilakukan alm. Ridwan. Everest surga bagi para pendaki, hidup atau mati tetap akan kulangkahkan kaki.
***
Langkah kujejak mengawali pendakian Everest. Warga Nepal yang ramah. Menyapa
Salatiga, 18/12/2015
Komentar
Posting Komentar