Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2016

Konsep Hidup dan Kapitalisme

Pemain sepakbola kita tidak memiliki konsep bermain yang jelas.  Ini berbeda dengan tim luar negeri dimana kolektivitas bermain tim yang baik, sistematis, dll. -ucapan seorang komentator sepakbola Indonesia dalam final piala AFF 2016. Kemudian aku terangsang untuk berfikir dengan apa yang dimaksud komentator tersebut, "konsep bermain" dan kucoba bandingkan dengan "kebiasaan strukturil". Yang kumaksudkan adalah sebuah pola, sistem, budaya atau struktur dimana individu hanyalah bagian saja dari semesta yang ia diami. Sepenuhnya aku percaya dengan ucapan komentator itu, bahwa selama ini pemain kita terbiasa asal membuang bola ke depan dan berharap keberuntungan bola nyangkut pada teman. Kemudian juga kebiasaan menggiring bola dan menunjukkan skill individu, dan kebiasaan lain. Bola adalah permainan yang menunjukkan gejala kulturil massa sehari-hari. Ia bak cermin kehidupan massa sehari-hari, yang kebanyakan hidup kemudian menunggu rangsangan datang saja. Kita tidak ...

Relativisme Kultural : Anti-Marxis?

Seorang teman bercerita di warung kopi tentang keadaan lingkungan di lokasi isterinya yang beradat baginya 'nyeleneh'. Ia melamukan perbandingan dengan apa yang ia alami di desanya, baik soal adat menikah, mistik, bahkan beribadah. Dalam pikirannya, adat di rumah isterinya sangat kaku dan deso. Kemudian aku berfikir juga tentang bagaimana Ruth Bennedict yang menulis tentang tradisi Jepang dimana samurai dan bunga seroja adalah sesuatu yang eksentrik, dimana tradisi dan simbolisasi ini merupakan sesuatu yang secara mikroskopis benar. Dari dua orang ini aku menarik perbandingan bahwa, meskipun level akademisnya berbeda, mereka berdua mewakili tradisi relativisme kultural. Bahwa temanku yang menilai orang Wonogiri dan Bennedict yang memotret budaya Samurai, sama-sama memberikan penilaian tentang budaya tak dilihat dari bagaimana konteks ekopol yang berlaku di suatu wilayah.